Tjipta Lesmana, Pengamat politik senior [ rakyatmerdeka.co.id Kamis, 14 Mei 2009, 00:34:24 ] Para politisi kita gemar sekali berkomunikasi dengan bahasa konteks tinggi, bahasa yang tidak jelas atau bersayap maknanya. Pada Nopember 1979 Gubernur Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah, masing-masing Willy Lasut dan Moenafri keduanya Jenderal TNI berbintang satu dipecat oleh Menteri Dalam Negeri, Amir Machmud, tatkala mereka baru menjabat 13 bulan. “Kenapa diberhentikan, Pak Menteri? Kan mereka baru menjabat setahun?” berondong para kuli tinta kepada Menteri Dalam Negeri. Sang Menteri hanya tersenyum. Namun, setelah beberapa kali didesak oleh wartawan, akhirnya Amir Machmud tidak bisa mengelak.
“Demi kepentingan bangsa, kepentingan daerah dan kepentingan yang bersangkutan sendiri…….”
What?! Silakan wartawan dan masyarakat menterjemahkannya sendiri! Itulah bahasa konteks tinggi dalam ilmu komunikasi.
Baru beberapa tahun kemudian misteri pemecatan terhadap Lasut dan Moenafri perlahan tapi pasti– merebak ke permukaan. Lasut dicopot terutama karena “kalancangannya“ mengusik-usik urusan cengkeh di daerahnya yang penuh aroma KKN. Dan semua orang sudah tahu bahwa urusan cengkeh pada era Orde Baru termasuk urusan sensitif.
Merapatnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ke Cikeas merupakan berita bak halilintar di siang hari bolong. Semua terkejut dan tidak percaya. Kenapa? “Demi kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar.” Ha, ha, ha….. Kok bahasanya sama dengan bahasa yang dipakai Amir Machmud 30 tahun yang silam! Kenyataannya, latarbelakang peristiwa ini sederhana sekali.
Pertama, pembicaraan berkali-kali antara Megawati Soekarnoputri dan Pabowo Subianto menghadapi deadlock. Ibu Mega kesal sebab Prabowo yang partainya cuma meraih sekitar 4% suara tetap ngotot hendak menjadi calon presiden, tidak mau calon wakil presiden. “Supaya maju, Indonesia harus melakukan perubahan besar. Dan saya tidak bisa melakukannya kalau cuma wakil presiden.”
Kabarnya, Ibu Mega sudah sedikit mengalah. “Kalau saya tidak capres, OK. Tapi, saya minta anak saya, Puan Maharani, sebagai cawapres Anda,” kilah Ibu Mega. Permintaan ini lagi-lagi ditolak oleh Prabowo. Prabowo ternyata sudah mempunyai preferensi sendiri untuk cawapresnya. Siapa dia? Wakil Gubernur Jawa Tengah, Dra Rustiningsih, kader kesayangan Ibu Megawati yang sukses sekali memimpin Kebumen tempo hari. Di sini Ibu Mega bersikeras lagi: tidak bisa!
Tapi, Prabowo mempunyai alasan yang cukup masuk akal, alasan kedua, untuk ngotot menjadi capres. Apa itu? Sesungguhnya PDIP saat ini sudah broke, alias tidak punya duit lagi. Semua orang mengetahui bahwa pemilu membutuhkan dana amat besar, khususnya untuk Indonesia. Sebagai bukan incumbent, PDIP tidak punya dana memadai. Sebagian besar uang yang mereka miliki nyaris habis tersedot untuk kampanye pemilihan umum legislatif April lalu. Prabowo tahu. Maka, ia deal dengan pimpinan PDIP: “Usung saya sebagai calon presiden. Sebagai imbalannya, saya akan menggelontorkan dana untuk menghidupkan kembali mesin PDIP.” Dana yang dijanjikan berkisar antara Rp 1 sampai Rp 1,5 triliun.
Ketiga, setelah gagal berkoalisi dengan Gerindra (“Koalisi dengan Prabowo sudah masa lalu,“ ucap Taufik Kiemas pada 11 Mei yang lalu), para petinggi PDIP kebingungan, sekaligus stress. Time is up! Waktu permainan hampir habis. Ingat, deadline-nya Jumat, 15 Mei 2009. PDIP terancam terhempas ke pinggir ring, karena perolehan suara maupun kursinya tidak cukup. Daripada tidak dapat apa-apa, kenapa tidak merapat saja ke Demokrat? Ketika itu, kebetulan muncul seorang tokoh yang dekat dengan SBY, sekaligus ex konco petinggi PDIP. Melalui pembicaran informal antara tokoh yang satu ini dengan petinggi PDIP itulah, kran komunikasi antara PDIP dan Demokrat terbuka. Lalu, datanglah Hatta Radjasa sebagai utusan resmi SBY ke rumah kediaman Ibu Mega, meski dengan basa-basi untuk urusan status rumah kediaman Ibu Mega di Jalan Teuku Umar.
Keempat, koalisi dalam bentuk bagaimana? Kembali lagi, kedua pihak menggunakan bahasa konteks tinggi: untuk membangun pemerintahan yang kuat. Tentu saja, PDIP tidak bisa mengharapkan kursi cawapres dari SBY, sebab sejak minggu pertama Mei SBY sudah menetapkan Boediono sebagai pendampingnya. Tapi, kalau PDIP mau berkoalisi, SBY siap memberikan jatah kursi kabinet sebanyak 5 hingga 7 portofolio.
Para petinggi PDIP berpikir serius: Daripada nol besar (alias tidak dapat apa-apa), 5 kursi di kabinet jauh lebih bagus……
Namun, hingga 13 Mei siang, komunikasi politik antara Ibu Mega dan Prabowo masih terus berlangsung. Pertanda, pintu koalisi masih belum tutup rapat, kendati Taufik Kiemas sebelumnya berkata “sudah masa lalu“. Karena politik adalah seni mengelola yang tidak mungkin menjadi mungkin, maka duet PDIP-Gerindra masih dimungkinkan. Yang jelas, Prabowo yang capres, sementara cawapresnya, kalau bukan Puan atau Rustriningsih, siapa?
Prabowo minta pengertian para petinggi PDIP. Ini perjuangan to be or not to be. “Sekali kita maju, kita harus bisa mengalahkan duet SBY-Boediono!“
Tinggalkan Balasan