Ahluwalia & Windi Widia Ningsih [ inilah.com 22/04/2009 – 21:43 ] Jakarta – Saat birahi politisi menjelang Pemilihan Presiden 2009 kian bergelora, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tak mampu menyalurkannya. Penghitungan suara lambat minta ampun. Ada yang menduga, KPU memalsukan data. Wah!
Panggung politik menuju 8 Juli 2009 kian memanas. Partai Golkar menarik diri dari rencana koalisi dengan Partai Demokrat. Arus besar di DPP Partai Golkar memutuskan mengajukan Jusuf Kalla sebagai calon presiden. Di sisi lain, Blok Teuku Umar terus saja merapatkan barisan, memberi perlawanan terhadap Demokrat yang sedang berada di atas angin.
Tak pelak, situasi politik pada Pilpres mendatang, hampir bisa dipastikan akan lebih panas dibanding Pemilu 2009 lalu. Kecuali memperebutkan tampuk kepemimpinan nasional lima tahun ke depan, Pilpres juga bakal memetakan bagi-bagi kekuasaan.
Sayangnya, di tengah situasi yang kian memanas, birahi kuasa yang kian bergelora, muncul perasaan tak yakin terhadap KPU bisa menyalurkannya. Pasalnya, hingga hari ini, KPU masih jauh dari target untuk menyelesaikan penghitungan suara Pemilu 2009.
Kekhawatiran itu, kini kian menguat jika saja temuan PDI Perjuangan benar adanya. Parpol pimpinan Megawati Soekarnoputri itu menuding KPU selama ini menahan masuknya suara dan menampilkan data yang keliru dalam Pusat Tabulasi Nasional (PTN).
Data di PTN memang bergerak lamban bagai siput. Pergerakannya sangat tidak signfikan. Padahal, PTN menggunakan tekonologi informasi yang canggih dan berbiaya mahal.
Kalau betul terjadi kesengajaan memperlambat tabulasi suara seperti yang dituduhkan PDIP, jelas ini akan kian menyodok KPU yang sudah mendapat kritikan tajam kanan-kiri. Kinerja KPU yang amburadul, terutama dengan pembiaran daftar pemilih tetap (DPT) yang buruk, menjadi penyebab.
“BP Pilpres PDIP menemukan data (penghitungan suara) yang sebenarnya ada dalam data base server KPU Pusat. Dari temuan tersebut diduga KPU melakukan kebohongan publik dan pemalsuan data perolehan suara yang ditampilkan dalam tabulasi nasional,” kata Sekretaris BP Pilpres PDIP, Hasto Kristianto di Jakarta, Rabu (22/4).
Hasto berani mempertanggungjawabkan data-data yang dibeberkannya. Hasto menyatakan, pihaknya mencurigai data-data yang dimunculkan di tabulasi nasional KPU tersebut cenderung untuk memenuhi hasil quick count yang sudah diumumkan sebelumnya sejumlah lembaga survei.
Seharusnya, menurut politisi PDIP itu, bila data bersifat real time online, maka naik turunnya perolehan suara bersifat fluktuatif dan bukan tetap pada prosentase tertentu. Hingga kini, KPU baru mengumpulkan sekitar 13 juta. Padahal, lima tahun lalu, KPU pada Pemilu 2004 sudah mengoleksi 30 juta suara.
Soal audit, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sudah mulai mengayunkan langkah. Ketua KPK, Antasari Azhar, sehari sebelumnya, sudah memerintahkan pasukannya untuk mulai melakukan pengumpulan data dan evaluasi terhadap pengadaan teknologi informasi KPU.
“Syukur-syukur tidak ada indikasi yang bisa masuk ke ranah korupsi. Kalau ada, wajib untuk kita tindak lanjuti,” ujarnya.
Antasari berharap ini hanya masalah teknis yang dihadapi KPU dalam penghitungan suara. Tetapi kalau hasil dari penelitian ternyata benar ada pengadaan alat yang tersendat, maka KPK perlu melakukan pengecekan.
Itu dari sisi teknis. Yang lebih parah lagi tentulah kalau ada unsur kesengajaan untuk memperlambat pengumuman data dari PTN kepada publik, apalagi kalau sampai terjadi upaya pemalsuan data. [I4]
Terkesan ada kepentingan dibalik angka 20% ; 14% dan 14% sepertinya bertahan tak ada perubahan yang signifikan.
Seolah seluruh wilayah perolehannya dianggap sama saja dalam persentasi suara.
Hebatnya teknologi yang dimiliki oleh KPU dari awal sudah dapat menggambarkan/mempengaruhi peta politik.
Presentasi suara itu ada rekayasa atau tidaknya, yang tau hanya orang2 dari KPU itu sendiri.
Semoga KPK dapat meluruskan semua itu.
Sebagai pembanding Informasi dari IT yang tidak mahal tapi saya menyukai dengan cepatnya pergerakan informasi yang didapat dibandingkan dari KPU di :
http://pemilu.pks.or.id/